Islam dan “Ayat-ayat Pedang”

Islam, di mata sebagian yang membencinya berpendapat bahwa Islam sarat dengan kekerasan, karena memang diajarkan di dalam Al-Qur’an sendiri yang banyak memuat “ayat-ayat Pedang”, sehingga tidak saja pemeluknya yang melakukan kekerasan atas nama islam tetapi memang karena dicontohkan sendiri oleh Nabi Muhammad “Sang Penebar Pedang” ) naudzubillah. Dan juga diajarkan sendiri oleh Al-Qura’an sumber “ayat-ayat Pedang”. benarkah demikian??

Adalah Geert Wilders-baru-baru lalu-dengan Film Fitna-nya berusaha menyampaikan sebuah fakta bahwa Islam telah mengajarkan “ayat-ayat pedang” dalam kitab sucinya Alquran. Dari sudut pandang masing-masing seseorang sah-sah saja mengeluarkan pendapat, tetapi benarkah Alquran telah mengajarkan “ayat-ayat pedang” yang melegalkan kekerasan atau bentuk-bentuk peperangan atas nama agama? Apakah Islam telah berkembang pesat lantaran dengan mengangkat pedang? Tulisan ini berusaha untuk menjawab pertanyaan ini dengan mengajak kita melihat kepada hakikat sebenarnya. Sehingga kita bisa melihat siapa yang telah menebarkan “pedang, Islam di satu sisi atau Geert Wilders di sisi lainnya dengan film Fitnanya.

Umat Islam kembali dihangatkan oleh sentimen keagamaan yang ditimbulkan oleh Geert wilders yang telah menayangkan Film Fitna. Perasaan umat Islam belum juga sembuh dari luka yang ditorehkan oleh Isu kartun Nabi Muhammad saw, kini bertambah menganga lebar dengan penayangan film Fitna tersebut. Senada dengan pesan dari Isu Kartun Nabi Muhammad saw “Fitna” Wilders ini hendak menyampaikan pesannya bahwa Islam melalui Alqurannya memuat bahkan melegalkan bentuk-bentuk kekerasan dan Teror terhadap agama lain.

Disisi lain trauma Barat akan Islam disebabkan peristiwa 11 September yaitu penyerangan Gedung WTC yang menelan ribuan nyawa belum juga hapus, dan mungkin sebagian mereka tidak akan bisa menghapus ingatan tersebut. Ditilik dari sisi psikologis ini, kemunculan Film fitna ini menjadi semacam “penyegaran Kembali” dari orang-orang Barat betapa ”Bengisnya” Islam dimata mereka. Memang Film tersebut adalah hasil dari seorang Geert Wilders saja, tetapi hal itu bisa dijadikan semacam “alat provokasi” mencitrakan Islam sedemikian rupa kepada masyarakat global, bahwa betapa Islam kejam dan menebarkan teror kepada pemeluk agama selain Islam, sehingga semakin memantapkan stigma-khususnya dalam masyarakat Kristen Barat-yang sudah lama tertanam dalam diri mereka, bahwa Islam disebarkan melalui kekerasan karena memang dilandasi oleh “Ayat-ayat Pedang di dalam Alquran. Dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw sendiri.

Umat Islam tentunya tidak terima terhadap hal tersebut, apa yang ditampilkan Geert Wilders tak lebih adalah suatu yang dilandasi kebencian atau sentimen terhadap Islam. Pesan yang disampaikan Wilders dengan Fitna-nya tak lain hanya bentuk distorsi terhadap ajaran Islam sejati. Bahwa kesimpulan yang mereka ambil hanya merupakan bentuk sisi gelap pikiran mereka terhadap Islam sehingga perhatian mereka hanya tertuju kepada hal-hal yang dianggap oleh mereka sebagai “noktah hitam” dalam wajah Islam. Mereka mengambil hal-hal yang partikular saja, memotong dahan-dahan dan memisahkannya dengan pohonnya, tak lain gambarannya adalah seperti seorang buta yang disuruh meggambarkan bagaimana gajah, karena kebetulan yang teraba olehnya adalah ekornya saja maka dia menyimpulkan sesusai dengan kondisi kebuataannya bahwa itulah gajah, gajah yang imut, kecil dan panjang. Begitulah mereka tak ubah seperti itu karena mereka-Wilders khususnya-adalah “buta” atau sengaja membutakan diri, dengan gegabah menyipulkan sesuatu yang hanya teraba sebagaian saja dari ajaran Islam. Atau seperti bajak laut yang hanya melihat hanya dengan satu mata, Geert Wilders pun hanya menggunakan satu mata, untuk bentuk-bentuk keburukan Islam (Baca umat Islam) dan satu matanya yang lain tertutup, atau segaja dia tutup kepada hal-hal yang baik, hal-hal yang mulia, dan kebaikan Islam.

Fitnah labih kejam dari pada pembunuhan, maka hal itulah yang menjadi keresahan umat Islam yaitu dampak global yang ditimbulkan film tersebut yang justru lebih mebahayakan. Dikatakan lebih berbahaya adalah karena Film tersebut bisa menyesatkan pikiran ribuan manusia yang tidak tahu apa-apa tentang Islam sebelumnya.

Tetapi tak dapat dipungkiri ada suatu kebenaran dari apa yang ditampilkan oleh Wilders bahwa ada simplifikasi bagian-bagian dari ayat Alquran seperti “jihad” yang dijadikan dasar oleh sebagian kecil kaum Muslim untuk menyerang kelompok lain.1 Bahwa jihad selalu sinonim dengan perang, dengan mengangkat pedang atau bentuk-bentuk kekerasan lain. Sehingga dari sebagian kelompok tersebut Islam selalu dihubung-hubungkan dengan Terorisme, seakan-akan Islam adalah teroris dan teroris adalah Islam. Memang kedua hal tersebut saling berhubungan satu sama lain, tetapi dari arah yang sama sekali beralawanan, mereka ditemukan bergulat satu sama lain tetapi tidak pernah saling bergandengan tangan dengan mesra. 2

Sebut saja misalnya Jihad Islam Mesir dan kelompok ekstrimis lainnya telah membunuh Presiden Anwar Sadat dan pejabat pemerintah lainnya, membunuh turis di Luxor, membakar Gereja dan membunuh orang Kristen. Di Aljazair, kelompok Islam bersenjata terlibat dalam kampanye teror melawan pemerintahan Aljazair. Osama Bin Laden dan al-Qaeda melakukan perang teror global melawan pemerintah Muslim dan Amerika, mendistorsi Islam dan menggunakan hukum Islam untuk kepentingan mereka mengeluarkan fatwa mereka sendiri dalam upaya membenarkan serangan dan menyerukan penyerangan terhadap orang sipil9 yang memerangi mereka. Tetapi Meskipun kelompok ini cenderung menerima liputan media yng banyak karena aktivitas yang mereka lakukan, mereka hanya mewakili Minoritas ekstrimis bukan mayoritas Muslim.3

Yang menjadi pertanyaan penting adalah benarkah tindakan segelintir orang Islam-seperti yang ditampilkan oleh Geert Wilders pada film Fitna-dapat menjadi landasan dari kesimpulan bahwa itulah Islam sebenarnya? Itulah intisari Islam. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Jika hal ini diterima maka kita akan mengambil kesimpulan yang sama terhadap agama-agama lain yang sebagian penganutnya kebetulan terlibat ke dalam bentuk-bentuk kekerasan yang mengatas-namakan suatu agama. Sebagai contoh apakah benar bahwa untuk menimbang agama Kristen kita mendasarkan pada konflik Katolik dan Protestan Irlandia Utara dengan mengatakan itulah wajah Kristen? Atau apakah dengan melihat peristiwa-peristiwa yang telah dilakukan oleh sebagian umat Kristen dengan Inkuisisi Spanyolnya, kita mengatakan itu adalah intisari kebenaran Kristen? Kita semua tentu tak akan mengambil kesimpulan seperti itu, jawabannya selalu akan bermuara pada pernyataan seperti “itu adalah partikular, oknum, hanya sebagaian saja, dan tak mencerminkan keseluruhan bahwa itulah bentuk agama mereka”, dan lain-lain.

Di dalam Islam, ataupun di dalam Kristen ataupun agama lainnya dalam beberapa kejadian  sekelompok pemeluknya terlibat dalam kegiatan teror (kekerasan) baik atas nama kelompok atau atas nama negeri yang populasinya secara dominan adalah pemeluk agama Kristen, Islam ataupun agama lainnya. Tetapi tidaklah tepat jika kita menempelkan label kepada segala bentuk teror dengan mengatakan itulah bentuk agama mereka sebenarnya. Timbulnya  istilah-istilah seperti Terorisme Islam, terorisme Kristen, terorisme Yahudi, terorisme Hindu dll.  Hanya akan menyulut kemarahan dari tiap agama karena istilah-istilah itu lebih bersifat propokatif. Terorisme atau bentuk-bentuk-kekerasan yang berjubahkan agama adalah persoalan global dan harus dicermati dalam perspektifnya yang lebih luas. Jika saja kita meneliti kekuatan yang ada dibalik tindak-tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama kita akan mampu memahami mengapa misalnya beberapa kelompok Muslim beralih memilih terorisme untuk mencapai tujuan mereka.

Islam, begitupun semua agama harus menampilkan ajarannya yang murni, kendatipun menjernihkan sebuah noda di dalam gelas memerlukan air yang lebih banyak untuk menjernihkannya kembali. Dalam istilah Islam inilah bentuk lain Jihad, Jihad yang tiada henti.

Fitna dan ”Ayat-ayat Pedang”

Kesan pertama yang saya tangkap dari Film Fitna yang dibuat wilders adalah bahwa pembuatan film oleh Wilders tersebut diladasi oleh kekhawatiran Wilders terhadap Islamisasi di Eropa. Hal itu  terlihat dari data yang dia tampilkan dalam akhir film yang menunjukkan bahwa dalam beberapa tahun saja Islam menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan. Kekhawatiran itu bertambah besar tatkala perhatiannya tertuju kepada fakta pada orang-orang Islam yang keras, bengis, teroris, ekstrim. Hal yang sebenarnya ialah dia hanya melihat satu titik dari lautan Islam yang luas. Dan diapun mencari bahwa tindakan-tindakan seperti penyerangan WTC, fenomena bom bunuh diri dan isu-isu kekerasan lainya pasti bukan tanpa landasan, dan hal itu dia temukan di dalam Alquran yang ternyata banyak memuat ”ayat-ayat pedang”/ayat-ayat perang” sehingga dia berkesimpulan bahwa tindakan ekstrim yang dilakukan oleh orang Islam adalah bukan saja karena Nabi Muhammad saw yang bengis  tetapi juga memang karena Alquran mengajarkan “ayat-ayat pedang” yang kejam (naudzubillah). Walaupun “Pedang” yang digunakan oleh Wilders adalah lebih tajam dan lebih membahayakan.

Dalam Film Fitna tersebut Geert Wilders menampilkan cuplikan-cuplikan ayat yang ditenggarai sebgai sumber legalisasi kekerasan di oleh umat Islam, sehingga menimbulkan bentuk-bentuk terorisme, atau bentuk-bentuk kekerasan lainnya. Diantara ayat tersebut adalah:

1.Surah An-Anfal ayat 60 yang berbunyi:

“Dan Siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan-kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan disiksa (dirugiakan)”.

2.Surah Annisa: 56:
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat kami kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka ke dalam neraka, kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesugguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksna.”

3.Surah Muhammad ayat 4

“Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir maka pancunglah batang leher mereka,. Sehingga apabila kamu mengalahkan mereka maka tahanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berhenti. Demikianlah apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah hendak menguji sebagian kamu dengan sebagian yang lain dan orang-orang yang gugur pada jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka.”

4.Surah Annisa ayat 89:

“Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan diantara mereka penolong-penolongmu hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka dimana saja kalian menemuainya dan janganlah kamu ambil seorangpun diantara mereka menjadi pelindung  dan jangalah (pula) menjadi penolong.”

5.Surah Al-Anfal ayat 39:

“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti maka sesungguhnya akan berlaku sunnah orang-orang terdahulu.”

Tak ayal bahwa orang-orang yang membaca ayat-ayat ini  baik Umat Islam sendiri maupun orang-orang non-Islam yang tak tahu latar belakang ayat tersebut akan mengiyakan bahwa memang ternyata Alquran mengajarkan peperangan dan bentuk-bentuk permusuhan lainnya.  Tetapi seperti telah disinggung pada awal-awal tulisan ini bahwa ayat Alquran terutama ayat-ayat  mengenai peperangan ini jangan dibaca secara sepotong-sepotong,, jangan melihat satu ayat saja karena sesungguhnya ayat-ayat tentang perang berkaitan satu sama lain dengan satu latar belakang yang satu.

Terlepas dari adanya sekelompok Islam yang menafsirkan ayat-ayat tersebut seperti yang terimplementasi dalam bentuk-bentuk yang ditampilkan oleh Wilders dalam FITNA-nya seperti penyerangan gedung WTC dll-saya hendak menekankan bahwa Islam tidaklah demikian dan tidak pula berarti bahwa adanya ayat-ayat yang bersimplikasi kepada peperangan itu menandakan bahwa Islam mengajarkan bentuk-bentuk kekerasan. Bentuk-bentuk peperangan memang selalu menyakitkan tetapi perang dalam Islam-jika hal itu menuntut peperangan-adalah peperangan yang sesuai kondisi dan situasi yang dialami oleh orang Islam pada waktu itu, yang tertindas, dan teraniaya lantaran keyakinan yang mereka yakini. Setiap hari, sepetinya tiada hari tanpa bayang-bayang ketakutan dan ancaman dari fihak kafir Quraisy khususnya pada waktu itu. Dari sisi hukum peperangan Islam juga merupakan tindakan yang dibenarkan karena sifatnya yang defensif, untuk mempertahankan diri saat mereka diserang. Dan dalam perkembangan selanjutnya ketika Islam sudah cukup kuat bentuk peperangan Islam yang diambil adalah dalam usaha penegakan stabilitas keamanan dan kedamaian yang senantiasa masih saja terongrong dan menghantui masyarakat Islam yang baru terbentuk pada waktu itu.

Dalam tulisan ini kita tidak akan membahas satu persatu ayat yang ditampilkan oleh Geert Wilders, karena hal-hal yang dia tampilkan dalam Film Fitna itu adalah tak lain hanyalah ayat-ayat yang sifatnya partikular yang didahului oleh hukum-hukum yang bersifat umum. Jadi ayat-ayat tersebut tidak bisa dilihat hanya dari potongan ayat-ayat yang terpisah-pisah dengan melepaskannya dari konteks asli pewahyuannya. Apa yang Wilders tampilkan sebenarnya adalah kondisi  yang menggambarkan pada keadaan-keadaan tertentu., untuk itu kita harus melihat sebab apa dan mengapa keadaan itu ditetapkan, itulah yang akan kita teliti, bahwa konteks ayat-ayat itu adalah dalam konteks pada saat peperangan, peperangan yang seperti apa, yaitu  peperangan yang terjadi karena dipaksakan oleh keadaan yang ditimbulkan oleh musuh-musuh Islam. Itulah yang akan kita perlihatkan bahwa peperangan Islam adalah peperangan defensif, peperangan yang bukan agresi, melainkan untuk pertahanan diri sebagai reaksi wajar dari aksi orang-orang kafir Qurays pada waktu itu..

Wilders menempatkan ayat-ayat tersebut dalam bentuk faksi-faksi yang terlepas, mandiri, seakan berdiri sendiri, sebaliknya kita akan  menampilkan ayat-ayat yang terkait karena dengan itu kita dapat memahami bahwa gambaran dalam ayat-ayat yang ditampilkan Wilders tersebut merupakan bagian dari sistusi yang seperti apa. Sehingga kita bisa memahami dan menilai bahwa adanya kata-kata “perangilah”, “bunuhlah”, “pancunglah”, “tahanlah”, dan lain-lainnya itu adalah timbul  dalam situasi-situasi tertentu dari hukum yang bersifat umum yang telah mendahulinya.

Setiap ayat dalam Alquran khususnya “ayat-ayat Perang” masing-masing merepresentasikan satu aspek dari hakikat yang multidimensional. Harus ada ayat-ayat yang yang memerintahkan Qital (perang) tatkala kaum musyrik memerangi kaum mukmin, juga harus ada ayat ayat yang melarang perang jikalau memang tidak ada faktor yang bisa menimbulkan fitnah atau ketertindasan . Sebagaimana halnya harus ada ayat-ayat yang memerintahkan perdamaian jika musuh condong atau mengajukannya, sekaligus harus ada ayat-ayat yang membongkar tipu daya mereka, juga kebiasaaan mereka membatalkan perjanjian. Hal ini tidak bisa dikatakan kontradiktif satu sama lain, sebab setiap ayat memiliki kekedudukan dan latar belakang masing-masing turunnya ayat bersangkutan. Yang terpenting dalam melihat Alquran kita harus dan jangan melepaskan dari konteks ayat tersebut.4 Ayat-ayat yang bersimplikasi pada kekerasan itu hendaknya jangan disalah-artikan atau didistorsi jika dikutip sendirian, karena ayat -ayat itu kebanyakan “diikuti dan disyaratkan oleh”. Artinya diikuti dan mempunyai syarat-syarat tertentu, kapan dan bilamana.5

Jadi dari sisi ini Islam justru telah meletakkan suatu kebijaksanaan yang sangat indah, Islam telah menampilkan aturan yang  secara proporsional, tidak terlalu maju dan tidak pula terlalu mundur.

Perang Islam Sesuai Situasi dan Kondisi

Islam telah menetapkan kebijakan yang sangat indah, bahwa Islam tidak mengajarkan agresi sebagaimana ajaran nabi Musa a.s.6 Dan di lain pihak Islam tidak mengajarkan untuk tunduk sepenuhnya seperti ajaran Nabi Isa a.s. yang menyerahkan pipi kirinya jika pipi kanannya ditampar.7 Pelajaran Islam adalah sesuai dengan fitrat manusia dan memajukan dan mengembangkan perdamaian dengan satu-satunya cara yang mungkin dilakukan.8

Islam melarang agresi, tetapi juga mengajarkan untuk berperang-jika dengan tidak adanya tindakan peperangan justru hal itu akan membahayakan keamanan dan menambah kemungkinan peperangan  atau jika dengan mengabaikan peperangan berarti lenyapnya kebebasan beragama dan usaha mencari kebenaran-maka telah menjadi suatu kewajiban bagi orang Islam untuk berperang. Itulah kebijaksanaan atas nama Rasulullah saw meletakkan siasat dan tindakan-tindakannya. Rasulullah saw menderita terus menerus di Mekkah, tetapi tidak melawan Agresi, dan beliau menjadi bulan-bulanan tanpa dosa. Ketika beliau melepaskan diri dengan hijrahnya ke beliau ke Madinah, musuh tetap berniat membinasakan Islam, maka beliau terpaksa menghadapi musuh dalam membela kebenaran dan kebebasan beragama.9

Sisi- sisi Peperangan dalam Islam

Hal pokok yang harus diperhatikan adalah bahwa adanya kata-kata “bunuhlah”, “usirlah”, “penggallah”, “perangilah” atau “himpunlah kekuaatan” adalah timbul dalam situasi tertentu, yaitu situasi dalam keadaan perang, inilah keadaan umum yang dari itu timbul bentuk-bentuk khusus tersebut, yaitu misalnya sikap seperti apa yang harus ditunjukkan ketika dalam sistusi peperangan tersebut. Keberatan yang mungkin muncul adalah, tetap saja Islam telah meletakkan landasan peperangan, atau telah mengizinkan peperangan. Inilah yang perlu kita luruskan, mengapa Islam mengizinkan berperang.

Peperangan Islam adalah peperangan yang timbul sebagai  upaya resisitensi terhadap keadaan tatkala musuh telah sedemikian rupa melancarkan permusuhan dengan segala bentuk penindasannya maka diizinkan oleh Allah untuk melakukan peperangan, dan peperangan itu adalah peperangan yang adil. Jika musuh bertambah sengit maka ketegasan sangat ditekankan, tetapi jika mereka mengajukan damai maka Islam mengajarkan untuk menyambut segera perdamaian tersebut, jika fihak musuh berhenti mareka-pun dituntut untuk tidak melanjutkan peperangan tersebut.  Karena peperangan itu bukanlah peperangan dalam motif-motif manusiawi melainkan semata-mata karena motif ketuhanan, yaitu untuk menegakkan dan melestarikan Agama Tuhan di bumi.

Seperti sudah ditegaskan pada awal-awal tulisan ini, teks-teks suci Islam harus dibaca dalam konteks sosial dan politik pada masa diwahyukannya. Sebagaimana juga kita bisa melihat dalam kitab suci dalam Perjanjian Lama bahkan juga Perjanjian Baru memiliki ayat-ayat yang berhubungan dengan pertempuran dan tingkah laku pada waktu perang. Dunia dimana komunitas muslim muncul adalah pertentangan yang kasar. Arab dan kota-kota Mekkah tempat Rasulullah saw tinggal dan menerima wahyu Tuhan adalah tempat serangan suku dan siklus balas dendam. Timur dekat yang luas dimana Arab berada, terbagi menajadi dua super power yang berperang, kerajaan Byzantium (Romawi timur) dan Sasania (Persia).10

Untuk menegaskan bahwa peperangan Islam adalah peperangan yang bersifat mempertahankan diri maka Kita lihat ayat-pertama yang yang telah mengizinkan perang kepada umat Islam pada waktu itu. Dalam  Surah 22:39-41 Allah taala berfirman:

“Telah diizinkan (berperang) bagi mereka yang telah diperangi (tanpa alasan), disebabkan mereka dianiaya dan sesungguhnya Allah Maha Kuasa untuk menolong mereka, (yaitu) mereka yang telah diusir dari rumah-rumah mereka tanpa alasan yang benar, melainkan karena mereka berkata, ‘Tuhan kami ialah Allah’. Dana sekiranya Allah tidak mencegah sebagaian orang-orang (Yang kafir dari kejahatannya) dengan perantaraan sebagian yang lain, niscayalah akan runtuh tempat-tempat pertapaan dan gereja-gereja Nasrani dan Gereja-Gereja Yahudi dan Mesjid-mesjid yang didalamnya banyak diperingati nama ALlah. Dan tentulah Allah akan menolong siapa yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah itu Maha Perkasa, Maha Unggul. Mereka (yakni orang-orang Islam yang Muhajir) itu, jika kami memperkokoh mereka di bumi itu, mereka akan mendirikan shalat dan memberikan zakat dan mengajak kepada kebajikan dan melarang daripada perbuatan jahat. Dan di tangan Allah akibat segala perkara”.

Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa peperangan Islam terjadi karena mereka itu terpaksa, terdesak oleh keadaan yang menuntut, karena mereka telah menjadi korban agresi,  yaitu mereka yang telah diusir dari rumah-rumahnya, hanya karena kepercayaan mereka. Izin ini bijaksana sebab jika Allah tidak mencegah si kejam dengan pertolongan kepada orang-orang benar maka tak ada kebebasan agama dan ibadat di dunia. Jika suatu kaum telah menderita agresi yang sedemikian rupa, yaitu jika agresor itu tak punya alasan untuk agresi mereka dan berusaha merintangi agama yang dianut oleh si Korban. Maka adalah kewajiban korban sasaran itu-jika dan bilamana ia memcapai kekuasan/kekuatan ialah menegakkan kebebasan beragama dan melindungi semua agama dan semua tempat-tempat suci. Kekuasaan itu harus digunakan bukan untuk kemuliaan dan kebesaran sendiri melainkan untuk mengurus si Miskin, kemajuan negara dan meningkatkan keamanan pada umumnya, pelajaran ini sempurna, jelas dan tegas.11

Ayat ini bisa dikatakan titik balik bagi perjuangan Rasulullah saw. Selama hampir tiga belas tahun Rasulullah saw dan kaum Muslimin dikejar-kejar, diancam, dan dihina tanpa pernah mereka membalas. Kondisi ini berubah dan menuntut respon berbeda agar Islam bisa bertahan di dunia. Ada saatnya berdamai, ada saatnya bertindak tegas.12-

Kita bisa menilai bahwa peperangan Islam melalui Rasullullah saw adalah logis dan adil-seperti yang ditulis oleh Marcel A. Boisard dalam bukunya Humansime Islam bahwa alasannya adalah, pertama, nabi Muhammad saw telah diancam oleh penduduk mekkah yang mengkhawatirkan kesatuan dan supremasi kota mereka. Kedua, Rasulullah Muhammad saw telah dancam pula oleh orang-orang Yahudi yang tidak ingin melihat Rsulullah saw sebagai penyelamat yang pernah disebut-sebut, dan yang ingin melestarikan keunggulan ekonomi mereka di Madinah. Ketiga, Rasulullah Muhammad saw dicemoohkan oleh orang-orang Masehi yang mendakwakannya sebagai nabi palsu. Dan Keempat, mendapat tantangan dalam negeri yang dilancarkan oleh beberapa penduduk Madinah yang oleh Alquran dinamakan kaum munafiqin dan akibatnya masyarakat yang baru terbentuk itu berada dalam bahaya. Oposisi masyarakat mayarakat tetangga  sangat keras baik terhadap msayarakat Islam waktu itu sendiri atau terhadap orang-orang yang baru masuk Islam karena dengna masuknya mereka ke dalam agama Islam mereka telah memecahkan solidaritas dan perlindungan suku-suku. Pertimbangan-pertimbangan sejarah serta deduksi psikologis ini membenarkan argeumentsi bahwa Muhammad saw terpaksa memakai kekerasan dengan mengangkat senjata karena membela diri.13

Peperangan defensif/bertahan dari peperangan Islam ditekankan lagi dalam Alquran  Surah Al-baqarah ayat 190-194:

“dan berperanglah di jalan Allah dengan orang-orang yang memerangi kamu dan janganlah kamu malampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang yang melampaui batas. Dan bunuhlah mereka dimana saja mereka kamu dapati, dan usirlah mereka dari mana saja mereka kamu dapati, dan usirlah mereka darimana mereka telah mengusir kamu, dan fitnah itu lebih buruk daripada pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di dekat Masjidil-Haram sebelum mereka memerangimu di dalamnya.

Maka jika mereka memerangimu, maka bunuhlah mereka. Demikianalah balasan bagi orang-orang kafir. Dan jika mereka berhenti maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun, maha penyayang. Dan perangilah mereka sehingga tak ada gangguan lagi dan agama itu menjadi hanya karena Allah. Tetapi jika mereka berhenti maka tak boleh lagi ada permusuhan melainkan terhadap orang-orang aniaya.’

Dari ayat ini sangat jelas menunjukkan prinsip-prisnsip peperangan Islam bahwa perang itu harus karena Allah bukan karena kepentingan sendiri atau akibat kemarahan atau kebebasan dan malahan harus bebas dari akses-akses, sebab akses-akses berlebihan itu tidak diridhoi Tuhan. Perang hanya bisa terjadi antara golongan-golongan yang saling bermusuhan, serangan atas perorangan itu terlarang. Agresi terhadap agama harus dihadapi dengan tindakan-tindakan pertahanan yang nyata, sebab agresi semacam itu lebih buruk dari pertumpahan darah. Kaum muslim dilarang berperang dekat Masjidil Haram, kecuali jika serangan itu dimulai oleh musuh. Perang dekat Masjidil Haram menggangu hak umum untuk naik haji. Tetapi jika musuh menyerang kaum muslim bebas membalas, hal mana merupakan pembalasan yang tepat terhadap agresi. Tetapi jika musuh menghentikannya maka kaum muslim juga harus berhenti dan memaafkan dan melupakan hal-hal yang lampau. Perang itu harus diteruskan selama serangan dan aniaya karena agama dan selama kebebesan beragama belum terjamin. Agama untuk Tuhan. Penggunaan kekerasan atau tekanan dalam urusan agama itu tidak dapat dibenarkan. Jika orang-orang kafir menghentikannya dan menjamin kebebasan beragama, kaum muslim harus menghentikan memerangi kaum kufar. Senjata harus tunduk kepada mereka yang melampuai batas. Jika pelanggaran-pelanggaaran dihentikan, perangpun harus dihentikan pula.14

Tetapi ayat ini juga menggarisbawahi bahwa perdamaianlah-bukan kekerasan dan perang-yang menjadi aturan tetap. Izin untuk bertempur melawan musuh diimbagi dengan perintah kuat utuk membuat perdamaian: “Jika musuh kamu cenderung untuk damai, maka kamu juga harus berdamai dan yakin kepada allah” (86:61 dan juga dalam 4:90 ditegaskan bahwa, “ Jika Allah berkehendak, Ia akan membuat mereka menguasai kamu, dan karenanya jika mereka meninggalkan kamu sendiri dan tidak memerangi kamu dan menawarkan perdamaian maka Allah tidak mengizinkan memerangi mereka.”15

Dalam perkembangannya, khusus dalam konteks perangan ini Islam telah meletakkan dua arahan, diantaranya peperangan harus dilakuakan dengan keseriusan dan sunguh-sungguh, untuk keperluan itu untuk menaikkan mentalistas umat Islam. Dengan penyiapan segala sesuatu dengan keseriusan tinggi dan kuat akan mampu menggentarkan musuh untuk melakukan serangan. Untuk itu pula Allah berfirman untuk mereka bahwa:

“Dan Siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan-kekuatan apa saja yag kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan disiksa (dirugikan)”

Dari prinsip-prinsip umum ini maka kita dapat mengatakan bahwa Perang dalam Islam adalah suatu keniscayaan dan itu adalah sikap yang tepat untuk waktu dan keadaan yang tepat. Inilah sifat-sifat khusus perang Islam, yaitu adil dalam motifnya, defensif dalam permulaannya, tinggi dalam cara pelaksanaannya, damai dalam tujuan akhirnya, dan berperikemanusiaan dalam memperlakukan mereka yang dikalahkan.16

Apakah Islam Disebarkan dengan Pedang?

Hal berikutnya yang dialamatkan kepada Islam berkaitan dengan adanya bentuk-bentuk peperangan di dalam Alquran dan peperangan yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw adalah dari itu Islam telah meletakkan dasar kuat prinsip dakwah penyebaran Islam adalah dengan cara kekerasan alias memaksakan dengan cara tersebut. Bearkah demikian?

Analisis secara objektif tentang doktrin hukum Islam menunjukkan bukti bahwa kekuatan tak pernah merupakan unsur pertama dari ekspansi Islam. Purbasangka tersebut yang mengatakan bahwa tersiarnya Islam dengan cepat itu disebabkan oleh kekuatan pedang harus ditolak atau sedikitnya kekuatan pedang harus diperkecil sehingga menajadi faktor nomor dua yang memudahkan dan memungkinkan berhasilnya faktor-faktor lain yang bersifat spiritual. Karena tanpa faktor spiritual kekuatan brutal dari perang suci akan tak ada gunanya. Satu-satunya fakta bahwa bangsa Arab yang dikalahkan oleh kaum muslimin Arab kemudian mereka berhasil menggulingkan dominasi tersebut, tetapi tetap memeluk agama Islam, merupakan suatu fakta yang nyata. 17 dan justru melalui hal yang spiritual itulah Islam telah tertanam dalam hati orang-orang Arab pada waktu itu.

Dalam dakwah Islam pedang tidak berperan apa-apa, justru peperangan defensif umat islam tersebut sebenarnya merupakan penghalagan bagi lajunya penyiaran agama Islam dengan cepat. Mengapa, karena:

1.Pertempuran-pertempuran itu telah dijadikan sarana untuk menyemaikan sentimen kebencian terhadap Islam. Api telah menyalakan api yang lebih besar lagi.
2.Keturunan dari para korban pernag bisa bersumpah untuk membalas dendam, dan seluruh keluarga atau suku mengangap umat Islam bertanggung jawab terhadap terbunuhnya mereka itu. Dengan demikian agama yang teraniaya ini menjadi sasaran kebencian mereka yang tak beralasan itu.
3.Dalam keadaan dan situasi yang tidak bersahabat itu menjadi mustahillah menyiarkan seruan Islam kepada sebagian besar orang Arab dan sulit pulalah menghilangkan kesalahafahaman dari hati mereka. Sebagai akibatnya dengan sendirinya pertablighan itu terbatas kepada lingkungan yang amat sempit.
4.Dari Dari antara orang-orang yang kepada mereka amanat sempat sampai dan mereka telah mengakui pula kebenarannya pun ada sebagian yang terdiri dari orang-orang lemah lagi tidak berani menyatakan kebenaran, karena takut akan lingkungan yang tidak bersahabat itu, maka peperangan itu telah menimbulkan rasa dahsyat dalam hati mereka.
5.Waktu yang dipakai umat Islam dalam rangka mengambil langkah bela diri memberi kesempatan sedikit sekali untuk menyibukkan diri dalam kegiatan-kegiatan tabligh.18

Dan memang faktanya ternyata Islam berkembang pesat adalah setelah masa-masa damai. Kita bisa melihat jumlah orang-orang yang memeluk agama Islam dalam masa yang penuh dengan cobaan-cobaaan selama 19 tahun mulai dari penerimaan wahyu pertama Rasulullah saw sampai dengan peristiwa Perdamaian Hudaibiyah adalah tak berarti sedikitpun jika dibandingkan dengan masa dua tahun masa damai sesudah Hudaibiah. Perkiraan paling banyak jumlah kaum pria yang ikut serta dalam perang sebelum Hudaibiah itu kurang lebih tiga ribu orang. Inilah jumlah yag paling banyak menurut perkiraan selonggar-longgarnya lasykar yang ikut pada perang Ahzab. Dibandingkan dengan itu jumlah lasykar Islam pada peristiwa penaklukan Mekkah meliputi 10.000 orang Islam. Tambahan tujuh ribu lasykar itu sedikit sekali yang masuk diantara masa Ahzab dan Hudaibiah dan dengan pasti jumlah yang sangat besar itu mmeluk Islam dalam masa damai dua tahun sesudah peristiwa Hudaibiah..19

Kesimpulan

Islam adalah agama yang damai, kata Islam diturunkan dari akar kata bahasa Arab, salima yang berarti kedamaian, keselamatan, kepasrahan. Prinsip utama Islam dalam menentukan pilihan adalah “Tidak ada paksaan dalam agama, baik dalam bentuk-bentuk ancaman, kekerasan dan intimidasi dll. Islam tidak mengajarkan kebencian kepada satu kaum tertentu bahkan Islam mengajarkan untuk tetap berbuat baik walau kita benci kepada suatu kaum. Alquran mengatakan: “Janganlah hanya karena kebencian kepada suatu kaum kalian tidak berlaku adil terhadap mereka, sebaliknya berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (Al-Maidah: 9).

Kalau ternyata di dalam Alquran terdapat “ayat-ayat pedang” yang dikatakan oleh para pengkritik Islam sebagai dasar ideologi umat Islam untuk melegalkan kekerasan atas nama Islam, maka hal itu sebenarnya adalah justru untuk mematahkan pedang-pedang orang kafir yang menghalangi terbentuknya kedamaian dan cinta kasih serta kebebasan dalam ibadah kepada Tuhan. Keadaan seperti itu adalah suatu keharusan karena jika tidak demikian maka hal itu akan menambah kehancuran bagi orang Islam pada waktu itu yang bertahun-tahun telah menjadi bulan-bulanan permusuhan para musuh Islam pada waktu itu, dari Islam masih seumur jagung sampai kepada masa berbuah ranum.

Ayat-ayat yang ditenggarai sebagai dasar bagi penggunaan kekerasan itu harus kita lihat dari konteksnya pada waktu di wahyukan, tidak bisa dilihat sepotong-potong, mandiri, seakan-akan berdiri sendiri tanpa kaitan dengan ayat-ayat yang mengikuti dan mensyaratkan kedaaan seperti itu. Sehingga kita tak menyalahartikan dalam konteks sebenarnya. Kata-kata “perangilah, usirlah, bunuhlah, seranglah dll tak lain hanya merupakan keadaan yang menuntut dalam keadaan-keadaan tertentu pada waktu itu, yaitu dalam masa peperangan karena mereka telah teraiaya. Sehingga dapat kita menyimpulkan bahwa hal itu adalah suatu yang bisa dibenarkan bahkan dianjurkan demi terlangsungnya eksistensi kebenaran mereka.

Alquran telah meletakkan suatu kesetimbangan yang indah, Islam telah mengajarkan untuk menahan kemarahan jika kemarahannya memang pada tempatnya, dan mengajarkan memberi maaf jika pemberian maaf tersebut memang pada tempatnya (3:134), Islam mengajarkan bahwa memang alasan dari satu tindakan adalah tindakan yang serupa, tetapi jika dengan memafkan adalah hal yang dapat menimbulkan suatu perbaikan dan tidak menimbulkan keburukan maka balasannya adalah disisi Allah (42:40)

Islam mengajarkan bahwa kejahatan jangan diberantas pada setiap kesempatan dan kondisi, atau malah sebaliknya terus menerus memberikan ampunan tanpa memperhatikan dampak untuk perbaikan. Melainkan Islam mengajarkan agar orang Islam memperhatiakn apakah tempat dan suasana menghendaki pemberian ampunan atau menghendaki tindakan tegas, demi terciptanya kebaikan bagi kepentingan kumum. Memberi maaf memang merupakan tindakan terpuji tetapi kadangkala dengan pemberian maafterserbut musuh berettambah nekad, untuk itu tindakan tegas atau membalas dengan hal setimpal adalah suatu yang sangat dibenarkan.20

Dari pertimbangan-pertimbangan ini dapatlah kita mengatakan bahwa peperangan Islam adalah peperangan yang adil dan sesuai dengan kondisi yang menghendakinya. Islam akan berperang jika musuh-musuh menyerang (Q.S. 2:190) dan sebaliknya mereka akan segera menghentikan peperangan jika musuh menghentikan peperangan (Q.S. 8:38-41) dan jika musuh menawarkan peradamaian maka islam pun mengajarkan untuk menyambut penawaran tersebut. (Q.S. 8:21).

Dilain pihak Rasulullah saw tidak pula termotivasi untuk berperang, karena sebenarnya peperangan itu adalah sesuatu yang mereka sendiri membencinya (2:216) mengingat akibat-akibat buruk yang ditimbulkan oleh perang. Sebaliknya keselamatan dan kedamaianlah yang menjadi kedambaan mereka. Jadi perang yang dilakukan oleh Rasulullah saw bukan masalah suka atau tidak suka atau masalah kebiasaan, melainkan perang itu dijalani Rasulullah saw karena situasi darurat, kewajiban, atau konsekuensi yang diharuskan dalam situasi yang menuntut hal tersebut. Peperangan yang dilakukan dengan dasar-dasar nilai kebajikan, perdamaian, kebebasaan dan keadilan dalam menghadapi penindasan dan pemaksaan manusia untuk meninggalkan sesuatu yang paling berharga dari merka yaitu keyakian kepada Tuhan.21

Kemudian tidaklah pula tepat melabeli bahwa orang-orang Islam adalah pribadi-pribadi yang keras, esktrim dan teroris hanya karena sebagian terlibat dalam hal-hal tersebut. Karena bentuk-bentuk seperti itu terdapat pula di dalam agama-agama lainnya. Karena kekuatan-kekuatan yang bekarja tersebut tidaklah benar-benar dan tidak mesti memiliki dasar agama, meskipun kelihatannya mereka mengatasnamakan agama.

Akhirnya Islam mengajarkan bahwa keadan setiap pemeluknya untuk selalu menekankan bahwa Islam tidaklah memaksa dalam hal memeluk suatu keyakinan, hal ini ditegaskan oleh Alquran: “Tidak ada paksaan dalam agama, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang salah. (Q.S. 2:256).

1. http://www.pikiran-rakyat.com/index.php?mib=beritadetail&id=15616

2. Mirza Tahir Ahmad, Terorisme Islam, Darsus no. 36, 13 September 2002

3. John L Esposito, Islam Aktual, terj. Norma Arbi’a Juli Setiawan, (Jakarta: Inisisasi Press, 2002) cet. ke-1, hal. 135

4. Jamal Albana, Revolusi Sosial Islam, Dekonstruksi Jihad dalam Islam , terj. Kamran A. Irsyadi, (Yogyajkarta: Pilar Media, 2005), cet ke-1, hal 115

5 John L Esposito, op.cit. hal. 132

6. Nabi Musa memerintahkan untuk memasuki daerah Kanaan dengan kekuatan senjata untuk mengalahkan penduduknya dan menempatkan kaumnya disitu (Ulangan 20:10-18)

Islam dan “Ayat-ayat Pedang” <!– @page { size: 21.59cm 27.94cm; margin: 2cm } P { margin-bottom: 0.21cm; widows: 0; orphans: 0 } P.western { so-language: en-GB } P.cjk { font-family: “Lucida Sans Unicode”, sans-serif } –>

Islam dan “Ayat-ayat Pedang” <!– @page { size: 21.59cm 27.94cm; margin: 2cm } P.sdfootnote-western { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-size: 10pt; so-language: en-GB; widows: 0; orphans: 0 } P.sdfootnote-cjk { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-family: “Lucida Sans Unicode”, sans-serif; font-size: 10pt; widows: 0; orphans: 0 } P.sdfootnote-ctl { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-size: 10pt; widows: 0; orphans: 0 } P { margin-bottom: 0.21cm } –>

Islam dan “Ayat-ayat Pedang” <!– @page { size: 21.59cm 27.94cm; margin: 2cm } P.sdfootnote-western { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-size: 10pt; so-language: en-GB; widows: 0; orphans: 0 } P.sdfootnote-cjk { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-family: “Lucida Sans Unicode”, sans-serif; font-size: 10pt; widows: 0; orphans: 0 } P.sdfootnote-ctl { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-size: 10pt; widows: 0; orphans: 0 } P { margin-bottom: 0.21cm } –>

Islam dan “Ayat-ayat Pedang” <!– @page { size: 21.59cm 27.94cm; margin: 2cm } P.sdfootnote-western { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-size: 10pt; so-language: en-GB; widows: 0; orphans: 0 } P.sdfootnote-cjk { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-family: “Lucida Sans Unicode”, sans-serif; font-size: 10pt; widows: 0; orphans: 0 } P.sdfootnote-ctl { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-size: 10pt; widows: 0; orphans: 0 } P { margin-bottom: 0.21cm } –>

Islam dan “Ayat-ayat Pedang” <!– @page { size: 21.59cm 27.94cm; margin: 2cm } P.sdfootnote-western { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-size: 10pt; so-language: en-GB; widows: 0; orphans: 0 } P.sdfootnote-cjk { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-family: “Lucida Sans Unicode”, sans-serif; font-size: 10pt; widows: 0; orphans: 0 } P.sdfootnote-ctl { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-size: 10pt; widows: 0; orphans: 0 } P { margin-bottom: 0.21cm } –>

Islam dan “Ayat-ayat Pedang” <!– @page { size: 21.59cm 27.94cm; margin: 2cm } P.sdfootnote-western { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-size: 10pt; so-language: en-GB; widows: 0; orphans: 0 } P.sdfootnote-cjk { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-family: “Lucida Sans Unicode”, sans-serif; font-size: 10pt; widows: 0; orphans: 0 } P.sdfootnote-ctl { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-size: 10pt; widows: 0; orphans: 0 } P { margin-bottom: 0.21cm } –>

Islam dan “Ayat-ayat Pedang” <!– @page { size: 21.59cm 27.94cm; margin: 2cm } P.sdfootnote-western { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-size: 10pt; so-language: en-GB; widows: 0; orphans: 0 } P.sdfootnote-cjk { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-family: “Lucida Sans Unicode”, sans-serif; font-size: 10pt; widows: 0; orphans: 0 } P.sdfootnote-ctl { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-size: 10pt; widows: 0; orphans: 0 } P { margin-bottom: 0.21cm } –>

7. Kaum Kristen sering mengemukakan pelajaran Yesus dan menjadikannya bukti bahwa Yesus menentang peperangan seperti , Menururt mereka bahwa yesus mengajarkan: “Tetapi aku sering berkata kapadamu: jangan melawan orang yang jahat, melainkan barang yang menampar pipi kananmu. Berikanlah kepadanya pipi yang sebelah lagi (Matius 5:39)

Islam dan “Ayat-ayat Pedang” <!– @page { size: 21.59cm 27.94cm; margin: 2cm } P.sdfootnote-western { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-size: 10pt; so-language: en-GB; widows: 0; orphans: 0 } P.sdfootnote-cjk { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-family: “Lucida Sans Unicode”, sans-serif; font-size: 10pt; widows: 0; orphans: 0 } P.sdfootnote-ctl { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-size: 10pt; widows: 0; orphans: 0 } P { margin-bottom: 0.21cm } –>

8. Hazrat Al-Haj Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, Penagntar Untuk Mempelajari Al-Quran, terj.(Bandung: Yayasan Wisma Damai, 1967), cet ke-2, hal 101

Islam dan “Ayat-ayat Pedang” <!– @page { size: 21.59cm 27.94cm; margin: 2cm } P.sdfootnote-western { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-size: 10pt; so-language: en-GB; widows: 0; orphans: 0 } P.sdfootnote-cjk { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-family: “Lucida Sans Unicode”, sans-serif; font-size: 10pt; widows: 0; orphans: 0 } P.sdfootnote-ctl { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-size: 10pt; widows: 0; orphans: 0 } P { margin-bottom: 0.21cm } –>

9. Ibid, hal 105. Tetapi hal sebenarnya adalah bahwa para nabi berbuat sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada pada waktu itu, Situasi nabi Musa memungkinkan dengan cara agresi sebaliknya dalam kondisi Isa a.s. Allah menetapkan kebijaksanaan dengan bertindak santun dan tidak menekankan peperangan.

Islam dan “Ayat-ayat Pedang” <!– @page { size: 21.59cm 27.94cm; margin: 2cm } P.sdfootnote-western { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-size: 10pt; so-language: en-GB; widows: 0; orphans: 0 } P.sdfootnote-cjk { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-family: “Lucida Sans Unicode”, sans-serif; font-size: 10pt; widows: 0; orphans: 0 } P.sdfootnote-ctl { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-size: 10pt; widows: 0; orphans: 0 } P { margin-bottom: 0.21cm } –>

10. John L. Esposito, op.cii, hal 135

Islam dan “Ayat-ayat Pedang” <!– @page { size: 21.59cm 27.94cm; margin: 2cm } P.sdfootnote-western { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-size: 10pt; so-language: en-GB; widows: 0; orphans: 0 } P.sdfootnote-cjk { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-family: “Lucida Sans Unicode”, sans-serif; font-size: 10pt; widows: 0; orphans: 0 } P.sdfootnote-ctl { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-size: 10pt; widows: 0; orphans: 0 } P { margin-bottom: 0.21cm } –>

11. Hazrat Al-Haj Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad,, op.cit, hal 104

Islam dan “Ayat-ayat Pedang” <!– @page { size: 21.59cm 27.94cm; margin: 2cm } P.sdfootnote-western { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-size: 10pt; so-language: en-GB; widows: 0; orphans: 0 } P.sdfootnote-cjk { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-family: “Lucida Sans Unicode”, sans-serif; font-size: 10pt; widows: 0; orphans: 0 } P.sdfootnote-ctl { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-size: 10pt; widows: 0; orphans: 0 } P { margin-bottom: 0.21cm } –>

12. Charles Le Gai Eaton, Menghampiri Islam, terj.Satria Wahono, (Jakarta: Serambi, 2005), cet. ke-1, hal 199

Islam dan “Ayat-ayat Pedang” <!– @page { size: 21.59cm 27.94cm; margin: 2cm } P.sdfootnote-western { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-size: 10pt; so-language: en-GB; widows: 0; orphans: 0 } P.sdfootnote-cjk { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-family: “Lucida Sans Unicode”, sans-serif; font-size: 10pt; widows: 0; orphans: 0 } P.sdfootnote-ctl { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-size: 10pt; widows: 0; orphans: 0 } P { margin-bottom: 0.21cm } –>

13.Marcel A. Boisaard, Humanisme Islam, H.M. Rasyidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), cet ke-1 hal 276

Islam dan “Ayat-ayat Pedang” <!– @page { size: 21.59cm 27.94cm; margin: 2cm } P.sdfootnote-western { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-size: 10pt; so-language: en-GB; widows: 0; orphans: 0 } P.sdfootnote-cjk { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-family: “Lucida Sans Unicode”, sans-serif; font-size: 10pt; widows: 0; orphans: 0 } P.sdfootnote-ctl { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-size: 10pt; widows: 0; orphans: 0 } P { margin-bottom: 0.21cm } –>

14. Hazrat Al-Haj Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, op. Cit. hal 105

Islam dan “Ayat-ayat Pedang” <!– @page { size: 21.59cm 27.94cm; margin: 2cm } P.sdfootnote-western { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-size: 10pt; so-language: en-GB; widows: 0; orphans: 0 } P.sdfootnote-cjk { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-family: “Lucida Sans Unicode”, sans-serif; font-size: 10pt; widows: 0; orphans: 0 } P.sdfootnote-ctl { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-size: 10pt; widows: 0; orphans: 0 } P { margin-bottom: 0.21cm } –>

15. John L. Esposito, op.cit, hal 1131

Islam dan “Ayat-ayat Pedang” <!– @page { size: 21.59cm 27.94cm; margin: 2cm } P.sdfootnote-western { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-size: 10pt; so-language: en-GB; widows: 0; orphans: 0 } P.sdfootnote-cjk { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-family: “Lucida Sans Unicode”, sans-serif; font-size: 10pt; widows: 0; orphans: 0 } P.sdfootnote-ctl { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-size: 10pt; widows: 0; orphans: 0 } P { margin-bottom: 0.21cm } –>

16. Marcel A. Boissard, op. Cit. hal 277

Islam dan “Ayat-ayat Pedang” <!– @page { size: 21.59cm 27.94cm; margin: 2cm } P.sdfootnote-western { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-size: 10pt; so-language: en-GB; widows: 0; orphans: 0 } P.sdfootnote-cjk { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-family: “Lucida Sans Unicode”, sans-serif; font-size: 10pt; widows: 0; orphans: 0 } P.sdfootnote-ctl { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-size: 10pt; widows: 0; orphans: 0 } P { margin-bottom: 0.21cm } –>

17. Ibid, hal. 284-285

Islam dan “Ayat-ayat Pedang” <!– @page { size: 21.59cm 27.94cm; margin: 2cm } P.sdfootnote-western { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-size: 10pt; so-language: en-GB; widows: 0; orphans: 0 } P.sdfootnote-cjk { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-family: “Lucida Sans Unicode”, sans-serif; font-size: 10pt; widows: 0; orphans: 0 } P.sdfootnote-ctl { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-size: 10pt; widows: 0; orphans: 0 } P { margin-bottom: 0.21cm } –>

18. Mirza Tahir ahmad, Penumpahan Darah Atas Nama Agama, terj.Mian Abdul hayye HP, (tt: Jemaat Ahmadiyah Indonesia: 1984), hal 56

Islam dan “Ayat-ayat Pedang” <!– @page { size: 21.59cm 27.94cm; margin: 2cm } P.sdfootnote-western { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-size: 10pt; so-language: en-GB; widows: 0; orphans: 0 } P.sdfootnote-cjk { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-family: “Lucida Sans Unicode”, sans-serif; font-size: 10pt; widows: 0; orphans: 0 } P.sdfootnote-ctl { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-size: 10pt; widows: 0; orphans: 0 } P { margin-bottom: 0.21cm } –>

19. Ibid, hal 56

Islam dan “Ayat-ayat Pedang” <!– @page { size: 21.59cm 27.94cm; margin: 2cm } P.sdfootnote-western { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-size: 10pt; so-language: en-GB; widows: 0; orphans: 0 } P.sdfootnote-cjk { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-family: “Lucida Sans Unicode”, sans-serif; font-size: 10pt; widows: 0; orphans: 0 } P.sdfootnote-ctl { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-size: 10pt; widows: 0; orphans: 0 } P { margin-bottom: 0.21cm } –>

20. Mirza Ghulam Ahmad, Filsafat Ajaran Islam, terj. Sayyid Shah Muhammad dan R. Ahmad Anwar, (Bandung: Jemaaat Ahmadiyah Indonesia, 1993), cet. Ke 4, hal.45

21.Jamal Albana, op. cit hal. 128

Islam dan “Ayat-ayat Pedang” <!– @page { size: 21.59cm 27.94cm; margin: 2cm } P.sdfootnote-western { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-size: 10pt; so-language: en-GB; widows: 0; orphans: 0 } P.sdfootnote-cjk { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-family: “Lucida Sans Unicode”, sans-serif; font-size: 10pt; widows: 0; orphans: 0 } P.sdfootnote-ctl { margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm; margin-bottom: 0cm; font-size: 10pt; widows: 0; orphans: 0 } P { margin-bottom: 0.21cm } –>

10 Comments to “Islam dan “Ayat-ayat Pedang””

  1. Saya ingin berbagi info, dalam hal ini ada 2 hal yg ingin saya sampaikan. Pertama: memang citra Islam sudah menurun sekali setelah kejadian 9/11 WTC itu. Ada beberapa reaksi keingin tahuan dari masyarakat non muslim yg tidak tahu Islam / muslim, (1)menjadi tahu dan cukup mengetahui dr media. (2)yg ingin tahu lebih banyak ttg islam, banyak membeli buku. (3) yang ingin tahu lebih dalam membeli Qur’an terjemahan(tanpa bahasa asli & tafsir). Orang2 yg saya maksudkan dalam no.3 ini mengartikan langsung dari Qur’an yg langsung dimengertinya, tanpa tahu arti / tafsir yg sebenarnya. Akibatnya mereka sering menyerang Islam dengan dalil2 yg ada di Qur’an sendiri. Awalnya reaksi saya mengagumi orang2 yg mengatakan telah membaca Qur’an & mengerti isinya, tetapi setelah saya liat sendiri, ternyata mereka hanya membaca Qur’an terjemahan, dan banyak sekali ditemukan di toko2 buku.

    Kedua: kalau kita jeli dengan tata bahasa di media seperti surat kabar/tv/internet (kususnya koran LN) media itu banyak memberitakan hal2 yg dilakukan oleh orang muslim yg sebenarnya beritanya sendiri tidak ada hubungannya dengan aktivitas orang muslim atau Islam.

    Contohnya:

    “Negara muslim sedang membangun tenaga nuklir bla bla bla”…, padahal yg bertanggung jawab membangun tenaga nuklir itu pemerintahnya. Media tidak pernah memberitakan ” negara kristen sedang membangun tenaga nuklir, yang ada misalnya ” Australia sedang berencana membangun tenaga nuklir”

    Film Fitna nya Wilders tidak akan diberitakan produksi orang kristen, tapi akan disebut produksi orang Belanda, sementara film Schism yg di produksi oleh orang Arab, akan dibilang produksi orang Islam.

    Kesimpulan saya, inilah tidak fairnya pemberitaan dari media sendiri. Sedikit sekali jumlah orang muslim yg berlaku jahat, tapi berakibat besar dampaknya untuk seluruh umat muslim didunia.

    Mudan2an info saya ini menjadi tambahan yg berguna. Wassalam

  2. Quote Jack:
    tetapi setelah saya liat sendiri, ternyata mereka hanya membaca Qur’an terjemahan, dan banyak sekali ditemukan di toko2 buku.
    Jawab:
    Sepertinya Sdr kecewa, melihat pernyataan di atas. Kenapa?

    Quote:
    tidak fairnya pemberitaan dari media sendiri
    Jawab:
    Tidak fairnya dunia memandang kemanusiaan. Seperti penjajahan bangsa Eropa zaman dulu, mana ada yang diungkit2. Malu mereka!!!
    Lihat saja mereka sekarang gembar-gemborkan HAM, apa dulu mereka nggak ngelanggar HAM?

  3. Nabi lama:

    Andapun akan kecewa kalau ternyata Qur’an itu hanya dalam 1 bahasa tanpa bhs yg aslinya, pdhal bahasa apapun terjemahannya harus tetap dengan bahasa aslinya. Ya kan? Gw kecewa ama yg menerbitkan Qur’an terjemahan tanpa bhs aslinya. Gak ada urusannya gue kecewa ama tulisan di blog ini, buat gw ini informasi yg baik.

  4. Tulisan artikel di blog Anda bagus-bagus. Agar lebih bermanfaat lagi, Anda bisa lebih mempromosikan dan mempopulerkan artikel Anda di infoGue.com ke semua pembaca di seluruh Indonesia. Salam Blogger!
    http://www.infogue.com/
    http://agama.infogue.com/islam_dan_ayat_ayat_pedang

  5. itu karena ayat-ayat quran difahami sepotong-sepotong. padahal, tiap ayat dalam quran mempunya korelaishatas (apa sih) satu sama lain ..

  6. Saya ingatkan teman2.
    “Pedang” dari Islam adalah “Ilmu” dari dahulu sampai kiamat.
    Wassalam

  7. Bt Ahmadi,
    Masjid dan majlis kami terbuka untuk para Ahmadi yang mau mendalami lebih jauh tentang Islam juga Ahmadiyah.
    Salam,

  8. Memahami Al-Quran memang susah. Tidak ada standar. Interpretasinya beragam. Tapi mau apa lagi??

  9. Qur’an diMUDAHkan dalam BAHASAMU…

    Maryam 19 : 97

    Maka sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur’an itu dengan bahasamu, agar kamu dapat memberi kabar gembira dengan Al Qur’an itu kepada orang-orang yang bertakwa, dan agar kamu memberi peringatan dengannya kepada kaum yang membangkang.

    Ad Dukhaan 44 : 58

    Sesungguhnya Kami mudahkan Al Qur’an itu dengan bahasamu supaya mereka mendapat pelajaran.

Leave a reply to Ja Huwa Cancel reply